Menu
Close
  • Kategori

  • Halaman

Health Haiberita.com

Health Haiberita.com

Contoh Komunikasi Terapeutik Panduan Lengkap

Contoh Komunikasi Terapeutik Panduan Lengkap

Smallest Font
Largest Font

Pernah merasa kesulitan memahami perasaan orang lain? Atau bingung bagaimana merespon seseorang yang sedang bermasalah? Mungkin kamu perlu memahami komunikasi terapeutik! Bukan cuma basa-basi, komunikasi ini kunci untuk membangun hubungan yang lebih empati dan penyembuhan. Dari konsultasi psikolog hingga obrolan santai dengan teman, teknik ini bisa diaplikasikan di berbagai situasi. Siap-siap menyelami dunia komunikasi yang lebih mendalam dan efektif!

Komunikasi terapeutik adalah seni membangun koneksi yang mendukung penyembuhan dan pertumbuhan emosional. Artikel ini akan membahas pengertian, teknik, hambatan, dan penerapannya dalam berbagai konteks, dilengkapi contoh-contoh nyata yang mudah dipahami. Dengan pemahaman yang komprehensif, kamu bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan membangun hubungan yang lebih bermakna.

Pengertian Komunikasi Terapeutik

Pernah merasa lega setelah curhat sama sahabat atau psikolog? Itulah sedikit gambaran kekuatan komunikasi terapeutik. Lebih dari sekadar ngobrol biasa, komunikasi ini punya tujuan penyembuhan dan peningkatan kesejahteraan emosional. Bayangkan, kamu bisa membantu seseorang melewati masa sulit hanya dengan cara bicara yang tepat. Keren, kan?

Komunikasi terapeutik adalah interaksi verbal dan nonverbal antara penyedia layanan kesehatan (terapis, konselor, dokter, perawat, dll.) dan klien yang bertujuan untuk membangun hubungan yang saling percaya, meningkatkan pemahaman diri, dan memfasilitasi proses penyembuhan atau perubahan perilaku. Ini bukan sekadar transfer informasi, melainkan proses yang mendalam dan penuh empati.

Contoh Penerapan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik diterapkan dalam berbagai konteks. Bayangkan seorang konselor yang membantu kliennya mengatasi kecemasan dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan validasi terhadap perasaan klien, dan membantu klien menemukan solusi. Atau, seorang dokter yang menjelaskan diagnosis kepada pasien dengan bahasa yang mudah dipahami dan penuh empati, menciptakan ruang aman bagi pasien untuk bertanya dan mengungkapkan kekhawatirannya. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi terapeutik dapat diterapkan dalam interaksi antar individu, seperti saat kita menghibur teman yang sedang sedih dengan memberikan dukungan dan pengertian.

Elemen Kunci Komunikasi Terapeutik yang Efektif

Supaya komunikasi terapeutik efektif, beberapa elemen kunci perlu diperhatikan. Bukan cuma bicara, tapi juga bagaimana cara bicaranya yang menentukan kesuksesan proses ini.

  • Empati: Memahami dan merasakan perasaan klien seakan-akan kita berada di posisinya.
  • Pendengaran Aktif: Mendengarkan dengan sepenuh hati, bukan hanya mendengar kata-kata, tetapi juga memahami emosi yang terkandung di dalamnya.
  • Kepercayaan: Membangun hubungan yang aman dan saling percaya, sehingga klien merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya yang terdalam.
  • Penerimaan tanpa syarat: Menerima klien apa adanya, tanpa menghakimi atau menilai.
  • Klarifikasi: Memastikan pemahaman yang sama antara penyedia layanan kesehatan dan klien.

Perbandingan Komunikasi Terapeutik dan Komunikasi Biasa

Agar lebih jelas, mari kita bandingkan komunikasi terapeutik dengan komunikasi biasa dalam tabel berikut:

Aspek Komunikasi Terapeutik Komunikasi Biasa
Tujuan Penyembuhan, peningkatan kesejahteraan emosional, perubahan perilaku Transfer informasi, interaksi sosial
Teknik Pendengaran aktif, empati, klarifikasi, penerimaan tanpa syarat Berbicara, mendengarkan (tidak selalu aktif), memberi informasi
Hubungan Hubungan yang saling percaya dan empatik Hubungan yang bisa bersifat formal atau informal, tidak selalu menekankan empati

Contoh Dialog: Komunikasi Terapeutik vs. Non-Terapeutik

Berikut contoh singkat perbedaannya:

Situasi: Seorang teman (A) baru saja kehilangan pekerjaan.

Komunikasi Terapeutik:

A: “Aku kehilangan pekerjaanku hari ini. Rasanya hancur banget.”
B: “Wah, aku turut berduka cita. Kehilangan pekerjaan memang berat, aku bisa bayangkan betapa sedih dan frustrasinya kamu sekarang. Ceritakan apa yang kamu rasakan.”

Komunikasi Non-Terapeutik:

A: “Aku kehilangan pekerjaanku hari ini. Rasanya hancur banget.”
B: “Yah, sudahlah. Cari pekerjaan lain aja. Banyak kok lowongan kerja sekarang.”

Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik, kunci utama dalam membangun hubungan yang suportif dan efektif antara konselor dan klien. Bukan sekadar obrolan biasa, lho! Ini tentang menciptakan ruang aman bagi klien untuk mengeksplorasi perasaan dan pikiran mereka tanpa rasa takut dihakimi. Teknik-teknik tertentu berperan penting dalam mencapai tujuan ini. Mari kita bahas beberapa teknik kunci yang bisa kamu terapkan.

Penerapan teknik komunikasi terapeutik membutuhkan kepekaan dan latihan. Namun, dengan pemahaman yang baik, kamu bisa menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses penyembuhan dan pertumbuhan klien.

Empati Aktif

Empati aktif lebih dari sekadar mendengarkan; ini tentang memahami dan merasakan apa yang dirasakan klien. Ini melibatkan usaha untuk masuk ke dalam perspektif mereka, merasakan emosi mereka seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Kita perlu menunjukkan pemahaman tersebut melalui verbal dan non-verbal. Bukan hanya mengucapkan “Saya mengerti,” tapi benar-benar merasakan apa yang mereka alami.

  • Penerapan: Mencerminkan perasaan klien dengan kalimat seperti, “Kedengarannya kamu merasa sangat frustrasi saat ini.” atau “Sepertinya kamu merasa sedih dan kehilangan.” Hindari memberikan solusi atau nasihat langsung.
  • Contoh Skenario: Klien: “Saya merasa sangat lelah menghadapi semua ini. Rasanya seperti beban yang tak tertahankan.” Konselor: “Kedengarannya kamu benar-benar kelelahan dan merasa terbebani oleh situasi ini. Aku bisa merasakan betapa beratnya perasaan itu.”

Pertanyaan Terbuka

Pertanyaan terbuka mendorong klien untuk mengeksplorasi pikiran dan perasaannya secara mendalam. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak”, dan merangsang respon yang lebih luas dan detail. Ini membantu klien untuk mengartikulasikan pengalaman mereka dengan lebih jelas.

  • Penerapan: Gunakan kata tanya seperti “Bagaimana?”, “Apa?”, “Ceritakan…”, “Apa yang kamu rasakan?” Hindari pertanyaan yang mengarahkan atau menilai.
  • Contoh Skenario: Klien: “Saya tidak tahu harus berbuat apa.” Konselor: “Apa yang membuat kamu merasa tidak tahu harus berbuat apa?”

Parafrase

Parafrase adalah cara untuk memastikan pemahaman kita terhadap apa yang disampaikan klien. Dengan mengulang kembali apa yang dikatakan klien dengan kata-kata kita sendiri, kita menunjukkan bahwa kita mendengarkan dengan seksama dan memahami inti permasalahannya. Ini juga memberi kesempatan bagi klien untuk mengklarifikasi jika ada kesalahpahaman.

  • Penerapan: Ulangi inti pesan klien dengan kata-kata sendiri, misalnya, “Jadi, jika aku mengerti, kamu merasa tertekan karena…”
  • Contoh Skenario: Klien: “Saya merasa sangat bingung dan frustasi dengan pekerjaan saya saat ini.” Konselor: “Jadi, jika aku mengerti, kamu merasa bingung dan frustasi dengan tuntutan pekerjaanmu sekarang ini?”

Penggunaan Diam

Diam yang disengaja dalam komunikasi terapeutik bisa sangat efektif. Ini memberikan ruang bagi klien untuk merenungkan pikiran dan perasaannya, tanpa tekanan untuk terus berbicara. Diam juga bisa menjadi bentuk dukungan dan empati yang kuat.

  • Penerapan: Biarkan ada jeda setelah klien berbicara, tanpa mengisi kekosongan dengan kata-kata. Perhatikan bahasa tubuh klien untuk memahami apakah mereka membutuhkan waktu untuk berpikir.
  • Contoh Skenario: Klien: “Saya… saya tidak tahu…” (Diam beberapa saat) Konselor: (Menunggu, mempertahankan kontak mata yang hangat)

Klarifikasi

Klarifikasi digunakan untuk memastikan pemahaman yang akurat terhadap pesan klien. Ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan bahwa kita berada di jalur yang benar dalam memahami pengalaman klien. Klarifikasi membantu kita menggali lebih dalam pemahaman.

  • Penerapan: Ajukan pertanyaan yang spesifik untuk mengklarifikasi poin-poin yang kurang jelas, misalnya, “Bisakah kamu menjelaskan lebih detail tentang…?” atau “Apa yang kamu maksud dengan…?”
  • Contoh Skenario: Klien: “Saya merasa seperti orang asing di keluarga sendiri.” Konselor: “Bisakah kamu menjelaskan lebih detail apa yang kamu maksud dengan merasa seperti orang asing di keluargamu sendiri?”

“Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada posisi orang lain, untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan memahami perspektif mereka. Ini adalah fondasi dari komunikasi terapeutik yang efektif.” – Carl Rogers

Bahasa tubuh memainkan peran penting. Kontak mata yang hangat, postur tubuh yang terbuka dan rileks, dan gestur yang mendukung menunjukkan empati dan penerimaan. Sebaliknya, bahasa tubuh yang tertutup, seperti menyilangkan tangan atau menghindari kontak mata, bisa menciptakan jarak dan membuat klien merasa tidak nyaman.

Mendengarkan aktif, yang mencakup memperhatikan kata-kata, bahasa tubuh, dan emosi klien, sangat krusial. Ini menunjukkan kepada klien bahwa kita benar-benar peduli dan tertarik untuk memahami pengalaman mereka. Mendengarkan aktif membangun kepercayaan dan menciptakan hubungan terapeutik yang kuat, yang pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan proses konseling.

Hambatan dalam Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik, kunci hubungan sehat antara terapis dan klien, bisa terhambat oleh berbagai faktor. Kegagalan dalam komunikasi ini bisa berdampak signifikan pada proses penyembuhan. Mari kita bahas beberapa hambatan umum dan bagaimana mengatasinya.

Tiga Hambatan Umum dalam Komunikasi Terapeutik

Keberhasilan terapi sangat bergantung pada komunikasi yang efektif. Namun, beberapa hal bisa menghambat proses ini. Berikut tiga hambatan umum yang sering dihadapi:

  • Kurangnya Empati dan Pemahaman: Terapis yang gagal memahami perspektif klien, atau terlalu fokus pada solusi tanpa memahami akar masalah, akan menciptakan jarak dan mengurangi kepercayaan. Ini bisa terlihat dari respon terapis yang terkesan menghakimi atau tidak peka terhadap perasaan klien.
  • Komunikasi Non-Verbal yang Tidak Konsisten: Bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata memainkan peran penting. Ketidaksesuaian antara pesan verbal dan non-verbal (misalnya, mengatakan “Saya mengerti” sambil menatap ke arah lain) akan menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan.
  • Bias dan Prakonsepsi: Terapis, seperti manusia pada umumnya, memiliki bias. Bias ini bisa berupa gender, ras, agama, atau orientasi seksual, yang secara tidak sadar mempengaruhi persepsi dan respon terhadap klien. Hal ini bisa membuat klien merasa tidak didengarkan atau dihakimi.

Mengatasi Hambatan Komunikasi Terapeutik

Mengatasi hambatan komunikasi membutuhkan kesadaran diri dan komitmen untuk perbaikan berkelanjutan. Berikut beberapa strategi yang bisa diterapkan:

  • Meningkatkan Keterampilan Empati: Latihan aktif mendengarkan, refleksi perasaan, dan penggunaan bahasa yang inklusif dapat membantu terapis memahami dan merespon perasaan klien dengan lebih baik. Terapis perlu berusaha memahami dunia klien dari perspektif mereka.
  • Menjadi Sadar Terhadap Komunikasi Non-Verbal: Terapis perlu memperhatikan bahasa tubuh mereka sendiri dan memastikan konsistensi antara pesan verbal dan non-verbal. Latihan di depan cermin atau feedback dari rekan sejawat bisa membantu.
  • Mengidentifikasi dan Mengelola Bias: Terapis perlu secara aktif mengidentifikasi dan menantang bias mereka sendiri. Refleksi diri, supervisi klinis, dan pelatihan sensitivitas budaya dapat membantu mengurangi dampak bias pada terapi.

Strategi Meningkatkan Komunikasi Terapeutik yang Efektif

Membangun komunikasi terapeutik yang efektif memerlukan strategi yang terencana dan konsisten. Berikut beberapa strategi kunci:

  1. Aktif Mendengarkan: Fokus penuh pada klien, tanpa interupsi, dan memberikan umpan balik verbal untuk memastikan pemahaman.
  2. Pertanyaan Terbuka: Gunakan pertanyaan terbuka untuk mendorong klien mengeksplorasi pikiran dan perasaannya secara mendalam.
  3. Parafrase dan Refleksi: Ulangi pernyataan klien dengan kata-kata sendiri untuk memastikan pemahaman dan menunjukkan empati.
  4. Membangun Hubungan yang Aman dan Percaya: Menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi klien untuk berbagi perasaan dan pengalamannya secara jujur.

Ilustrasi Dampak Bias terhadap Komunikasi Terapeutik

Bayangkan seorang terapis dengan bias terhadap individu LGBTQIA+. Seorang klien gay datang untuk terapi karena depresi. Meskipun klien secara verbal mengungkapkan kesedihannya, terapis mungkin secara tidak sadar menginterpretasikan kesedihan tersebut melalui lensa biasnya, misalnya dengan berasumsi bahwa depresi klien disebabkan oleh “gaya hidup” atau “pilihan hidup”nya. Terapis mungkin mengajukan pertanyaan yang menghakimi atau memberikan saran yang tidak sesuai, seperti menyarankan klien untuk “mencoba mengubah gaya hidupnya.” Akibatnya, klien akan merasa tidak dipahami, tidak aman, dan enggan untuk berbagi informasi yang lebih pribadi, sehingga menghambat proses terapi.

Pengaruh Perbedaan Budaya terhadap Komunikasi Terapeutik

Perbedaan budaya dapat mempengaruhi komunikasi terapeutik dalam berbagai cara. Misalnya, budaya tertentu mungkin lebih menghargai komunikasi non-verbal daripada verbal, atau mungkin memiliki norma sosial yang berbeda tentang kontak fisik atau ekspresi emosi. Terapis perlu memahami keragaman budaya klien dan menyesuaikan gaya komunikasinya agar sesuai. Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidakpercayaan, dan bahkan dapat menghentikan proses terapi. Contohnya, dalam budaya yang lebih kolektivistik, klien mungkin enggan mengungkapkan masalah pribadi tanpa persetujuan keluarga, sementara terapis dari budaya individualistik mungkin mengabaikan pentingnya konteks keluarga ini.

Penerapan Komunikasi Terapeutik dalam Berbagai Konteks

Komunikasi terapeutik, bukan sekadar basa-basi, melainkan seni membangun koneksi yang empati dan suportif. Kemampuan ini penting banget, lho, bukan cuma di ruang konsultasi psikolog, tapi juga di berbagai aspek kehidupan. Bayangkan, setiap interaksi kita berpotensi jadi terapi kecil yang bisa menyembuhkan, menenangkan, dan memberdayakan. Yuk, kita telusuri bagaimana penerapannya di beberapa konteks!

Komunikasi Terapeutik dalam Kesehatan Mental

Dalam konteks kesehatan mental, komunikasi terapeutik adalah kunci utama. Perawat, psikolog, dan tenaga kesehatan mental lainnya perlu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien. Hal ini dicapai dengan mendengarkan secara aktif, menunjukkan empati, dan memvalidasi perasaan pasien tanpa menghakimi. Dengan begitu, pasien merasa dipahami dan didengarkan, sehingga lebih terbuka untuk bercerita dan menjalani proses penyembuhan. Teknik seperti refleksi perasaan, klarifikasi, dan penegasan sangat krusial dalam membantu pasien mengeksplorasi pikiran dan perasaannya.

Komunikasi Terapeutik dalam Konteks Pendidikan

Di dunia pendidikan, komunikasi terapeutik juga berperan penting dalam membangun hubungan guru-siswa yang positif dan suportif. Guru yang menerapkan komunikasi terapeutik mampu menciptakan suasana kelas yang inklusif dan nyaman, sehingga siswa merasa aman untuk bertanya, berpartisipasi, dan mengungkapkan kesulitannya. Dengan mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan umpan balik yang membangun, guru dapat membantu siswa mengembangkan potensi mereka secara optimal dan mengatasi hambatan belajar. Contohnya, guru bisa menggunakan kalimat-kalimat yang menunjukkan pemahaman dan dukungan, seperti “Aku mengerti kamu sedang merasa kesulitan, mari kita cari solusinya bersama.”

Contoh Dialog Perawat dan Pasien

Berikut contoh dialog antara seorang perawat (P) dan pasien (Pas) yang menunjukkan komunikasi terapeutik efektif:

P: “Selamat pagi, Pak. Bagaimana perasaan Bapak hari ini?”

Pas: “Saya masih merasa cemas dan sedih.”

P: “Saya mengerti, Pak. Cemas dan sedih itu perasaan yang wajar. Apa yang membuat Bapak merasa seperti itu?”

Pas: “Saya takut tidak bisa sembuh.”

P: “Ketakutan Bapak itu saya pahami. Kita akan berusaha bersama-sama agar Bapak merasa lebih baik. Kita akan melalui proses ini pelan-pelan, dan saya akan selalu ada untuk mendukung Bapak.”

Perhatikan bagaimana perawat menunjukkan empati, validasi, dan dukungan tanpa memberikan solusi instan. Dia fokus mendengarkan dan menciptakan ruang aman bagi pasien untuk mengekspresikan perasaannya.

Pentingnya Komunikasi Terapeutik dalam Membangun Hubungan Positif

Komunikasi terapeutik adalah jembatan emas menuju hubungan yang positif dan bermakna. Dengan memahami dan menghargai perasaan orang lain, kita mampu menciptakan ikatan yang kuat dan saling mendukung. Ini adalah investasi berharga yang akan berbuah manis dalam kehidupan kita.

Komunikasi Terapeutik dalam Konteks Keluarga

Dalam keluarga, komunikasi terapeutik membantu anggota keluarga untuk saling memahami, menghargai, dan mendukung satu sama lain. Dengan berkomunikasi secara asertif, empatik, dan penuh pengertian, konflik dapat diselesaikan dengan lebih konstruktif. Anggota keluarga dapat belajar untuk mengekspresikan kebutuhan dan perasaannya tanpa menyalahkan atau menghakimi satu sama lain. Ini menciptakan iklim keluarga yang hangat, harmonis, dan mendukung pertumbuhan emosional setiap anggotanya. Misalnya, orang tua dapat menggunakan komunikasi terapeutik untuk membantu anak-anak mereka mengatasi masalah emosional atau perilaku.

Etika dalam Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik, yang bertujuan untuk membantu klien mencapai kesejahteraan mental dan emosional, harus dijalankan dengan prinsip etika yang kuat. Tanpa landasan etika yang kokoh, proses terapi bisa jadi kontraproduktif, bahkan merugikan klien. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika ini adalah kunci keberhasilan dan tanggung jawab profesional bagi para terapis.

Prinsip-prinsip Etika dalam Komunikasi Terapeutik

Beberapa prinsip etika fundamental harus selalu dipegang teguh dalam setiap interaksi terapeutik. Kegagalan mematuhi prinsip-prinsip ini dapat berdampak serius pada kesejahteraan klien dan integritas profesi.

  • Kerahasiaan (Confidentiality): Informasi yang diungkapkan klien harus dijaga kerahasiaannya, kecuali ada kewajiban hukum untuk melaporkannya (misalnya, ancaman bunuh diri atau kekerasan pada orang lain).
  • Autonomi Klien (Client Autonomy): Klien memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri tentang perawatan mereka. Terapis harus menghormati hak ini dan memberikan informasi yang cukup agar klien dapat membuat pilihan yang tepat.
  • Non-Maleficence (Tidak Merugikan): Terapis harus menghindari tindakan yang dapat membahayakan klien, baik secara fisik maupun psikologis.
  • Beneficence (Berbuat Baik): Terapis harus bertindak demi kepentingan terbaik klien dan berupaya untuk memaksimalkan manfaat dari terapi.
  • Keadilan (Justice): Terapis harus memperlakukan semua klien dengan adil dan tidak diskriminatif, terlepas dari latar belakang, ras, agama, atau orientasi seksual mereka.
  • Integritas (Integrity): Terapis harus jujur, terbuka, dan bertanggung jawab dalam semua aspek pekerjaan mereka.

Konsekuensi Pelanggaran Etika

Pelanggaran etika dalam komunikasi terapeutik dapat memiliki konsekuensi yang serius, baik bagi klien maupun terapis. Ini bisa berupa trauma psikologis pada klien, hilangnya kepercayaan publik pada profesi terapi, hingga sanksi hukum dan kehilangan lisensi praktik bagi terapis.

Contoh Situasi yang Memerlukan Pertimbangan Etika

Banyak situasi dalam terapi yang memerlukan pertimbangan etika yang cermat. Contohnya, ketika klien mengungkapkan rencana untuk melukai diri sendiri atau orang lain, atau ketika terapis merasa memiliki konflik kepentingan dengan klien.

Tabel Ringkasan Prinsip Etika

Berikut tabel yang merangkum prinsip-prinsip etika dalam komunikasi terapeutik:

Prinsip Penjelasan Contoh Penerapan Konsekuensi Pelanggaran
Kerahasiaan Menjaga informasi pribadi klien tetap rahasia. Tidak membicarakan sesi terapi dengan orang lain. Kehilangan kepercayaan klien, sanksi hukum.
Autonomi Klien Menghormati hak klien untuk membuat keputusan. Memberikan informasi yang cukup agar klien dapat membuat pilihan. Klien merasa dipaksa, terapi tidak efektif.
Non-Maleficence Tidak melakukan tindakan yang membahayakan klien. Menghindari memberikan nasihat yang tidak tepat. Kerusakan psikologis pada klien.

Skenario Dilema Etika dan Cara Mengatasinya

Bayangkan seorang terapis yang memiliki hubungan persahabatan dengan klien di luar sesi terapi. Situasi ini menimbulkan konflik kepentingan. Terapis harus mengakui konflik ini dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan persahabatan tersebut atau merujuk klien ke terapis lain untuk menjaga integritas dan objektivitas terapi.

Simpulan Akhir

Memahami dan mengaplikasikan komunikasi terapeutik bukan hanya sekadar kemampuan, melainkan sebuah investasi untuk hubungan yang lebih sehat dan bermakna. Dari keluarga hingga lingkungan profesional, kemampuan ini membuka pintu untuk empati, pemahaman, dan penyelesaian masalah yang lebih efektif. Jadi, mulailah berlatih, dan saksikan bagaimana komunikasi terapeutik mengubah cara kamu berinteraksi dengan dunia!

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow